Sabtu, 30 Juni 2012

Hukum Pajak dalam Islam



Akhir akhir ini banyak kalangan membicarakan masalah pajak. Hal ini terkait dengan kasus korupsi yang terjadi dilingkungan Dirjen pajak. Lalu Bagaimana hukum pajak dalam kaca mata syariah???

Pajak menurut istilah kontemporer adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarjan undang-undang sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara lansung. pajak dipungut penguasa berdasarkan norma norma hukum untuk menutup biaya produksi barang barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.

Dalam ajaran islam pajak sering di istilahkan dengan adh-Dharibah  yang jama'nya adalah adh-dharaib. ulama-ulama dahulu menyebutnya dengan al Maks. Di sana ada isyilah istilah lain yang mirip dengan pajak atau adh-dharibah diantaranya adalah :
a. Al-jizyah (upeti yang harus dibayarkan ahli kitab kepada pemerintah islam)
b. al-kharaj (pajak bumi yang dimiliki oleh negara)
c. al-Usyr (bea cukai bagi para pedagang non muslim yang masuk kenegara Islam)

Pendapat ulama tentang pajak
kalau kita perhatikan istilah isilah di  atas, kita dapatkan bahwa pajak sebenarnya diwajikan bagi orang orang non muslim kepada pemerintahan Islam sebagai bayaran jaminan keamanan. maka ketika pajak tersebut diwajibkan kepada kaum muslimin, para ulama berbeda pendapat di dalam menyikapinya.

Pendapat pertama : menyatakan pajak tidak boleh sama sekali dibebankan kepada kaum muslimin, karena kaum muslimin sudah dibebani kewajiban zakat. dan ini sesuai dengan haadits yang diriwayatkan dari fatimah binti  Qats, bahwa dia mendengar rasulullah SAW bersabda :
لَيْسَ فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ
“Tidak ada kewajiban dalam harta kecuali zakat. “ (HR Ibnu Majah, no 1779, di dalamnya ada rawi :
Abu Hamzah (Maimun), menurut Ahmad bin Hanbal dia adalah dha’if hadits, dan menurut Imam Bukhari: dia tidak cerdas )

Apalagi banyak dalil yang mengecam para pengambil pajak yang zhalim dan semena-mena, diantaranya adalah :
Pertama : Hadits Abdullah bin Buraidah dalam kisah seorang wanita Ghamidiyah yang berzina bahwasanya Rasulullah SAW bersabda :
فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ
“ Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya perempuan itu telah benar-benar bertaubat, sekiranya taubat (seperti) itu dilakukan oleh seorang penarik pajak, niscaya dosanya akan diampuni.” ( HR Muslim, no: 3208 )
Kedua : Hadits Uqbah bin ‘Amir, ia berkata, saya mendengar Rasulullah SAW bersabda :
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ
Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak (secara zhalim) “ ( HR Abu Daud, no : 2548, hadits ini dishahihkan oleh Imam Al Hakim ) .

Dari beberapa dalil di atas, banyak para ulama yang menyamakan pajak yang dibebankan kepada kaum muslim secara zhalim sebagai perbuatan dosa besar, seperti yang dinyatakan Imam Ibnu Hazmi di dalam Maratib al Ijma’  halaman : 141 :
واتفقوا أن المراصد الموضوعة للمغارم على الطرق وعند أبواب المدن وما يؤخذ في الأسواق من المكوس على السلع المجلوبة من المارة والتجار ظلم عظيم وحرام وفسق
”Dan mereka (para ulama) telah sepakat bahwa para pengawas (penjaga) yang ditugaskan untuk mengambil uang denda (yang wajib dibayar) di atas jalan-jalan, pada pintu-pintu (gerbang) kota, dan apa-apa yang (biasa) dipungut dari pasar-pasar dalam bentuk pajak atas barang-barang yang dibawa oleh orang-orang yang sedang melewatinya maupun (barang-barang yang dibawa) oleh para pedagang (semua itu) termasuk perbuatan zhalim yang teramat besar, (hukumnya) haram dan fasik.”

Imam Dzahabi di dalam bukunya Al Kabair, Imam Ibnu Hajar al Haitami di dalam Az Zawajir ‘an Iqtirafi Al Kabair, Syekh Sidiq Hasan Khan di dalam Ar Raudah An Nadiyah, Syek Syamsul Al Haq Abadi di dalam Aun  Al Ma’bud, dan lain-lainnya

Pendapat Kedua : menyatakan kebolehan mengambil pajak dari kaum muslimin, jika memang negara sangat membutuhkan dana, dan untuk menerapkan kebijaksanaan inipun harus terpenuhi dahulu beberapa syarat. Diantara ulama yang membolehkan pemerintahan Islam mengambil pajak dari kaum muslimin adalah Imam Ghazali di dalam al-mustasyfa : 1/303, Imam Syatibi didalam al I'ti dan Imam Ibnu Hazm.

Syarat syarat pemungutan pajak
para ulama yang membolehkan Pemerintahan Islam memungut pajak dari umat islam, meletakkan beberapa syarat yang dipenuhi terlebih dahulu diantaranya adalah:
1. Negara sangat membutuhkan dana untuk keperluan dan maslahat umum,seperti pembelian alat-alat perang untuk menjaga perbatasan negara yang sedang diganggu oleh musuh.
2.   Tidak ada sumner lain yang bisa diandalkan oleh negara, baik dari zakat, jizyah al usyur kecuali pajak.
3. harus ada persetujuan dari alim ulama, para  cendikiawan dan tokoh masyarakat.
4. pemungutannya harus adil, yaitu dipungut dari rakyat yang kaya saja dan tidak boleh dipungut dari orang-orang yang miskin.
5. pajak sifatnya sementara dan tidak diterapkan secara terus menerus.
6. Harus dihilangkan dulu pendanaan yang berlebihan dan hanya menghambuirkan uang saja.
7. besarnya pajak harus sesuai dengan kebutuhan yang mendesak pada waktu itu saja.

Apakah pajak hari ini sesuai dengan Syariat Islam????
jawabannya tidak, karena pajak yang ditetapkan hari ini tidak sesuai dengan penjelasan diatas.
1. pajak hari ini dikenakan juga pada barang yang menjadi kebutuhan sehari hari yang secara tidak langsung akan membebani rakyat kecil
2. hasil pajak hari ini tidak digunakan untuk keperluan negara yang mendesak.
3. pajak hari ini diwajibkan terus menerus secara mutlak dan tidak terbatas.
4. pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat, padahal zakat sendiri belum diterapkan secara serius.
5. Pajak hari ini belum dimusyawrahkan dengan para ulam dan tokoh masyarakat
6. pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat kecil padah sumber sumber pendapatan negara yang lain seperti kekayaan alam  tidak diolah dengan baik malahan diberikan kepada perusahaan asing yang pembagiannya tidak seimbang, yang kalau dikelola sendiri dengan baik akan bisa mencukupi kebutuhan negara dan rakyat.

Wallahu A'lam


sumber : DR. Ahmad Zain An najah, M.A